(inilah.com/Ardhy Fernando)
Ada 11
provinsi yang mengalami penundaan akibat kekacauan tersebut. Itulah
sebabnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie menyebut
penyelenggaran ujian nasional (UN) 2013 merupakan yang terburuk
sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ada upaya atau langkah-langkah darurat yang diambil pelaksana atau peneyelenggara ujian nasional di daerah (hilir) untuk mengatasi keterlambatan distribusi soal. Tetapi semua itu tidak dapat mengatasi masalah. Persoalan ada pada hulu, di tingkat pusat, yang menentukan siapa mencetak, siapa mengedarkan atau mendistribusikan soal tersebut. Padahal, ujian nasional bukan kali ini saja dilaksanakan, sehingga masalah seperti ini tidak perlu terjadi. Seharusnya langkah antisipasi sudah dilakukan.
Ujian nasional, pada setiap tingkatan sekolah, sebagaimana anekdot konyol masyarakat, benar-benar sudah berubah menjadi “stres nasional”. Bukan hanya kali ini, tetapi setiap tahun stres nasional itu berulang, manakala ujian nasional sudah mendekat waktu pelaksanaannya.
Bukan hanya peserta didik, tetapi juga para orang tua siswa, sampai guru dan kepala sekolah, semuanya tertekan menghadapi ujian nasional ini. Dan itu terjadi merata di seluruh penjuru nusantara.
Penyebabnya, tidak lain adalah kecemasan siswa, orang tua, guru, sampai kepala sekolah. Bahkan ada sejumlah siswa yang sampai pergi ke kuburan berdoa bersama agar bisa lulus. Ini sesuatu yang tidak rasional lagi.
Kecemasan yang melanda mereka, tentu tidak lain adalah bayangan jika sekiranya siswa tidak lulus dari ujian tersebut. Siswa tentu kecewa berat jika mereka tidak lulus, sebab akan ketinggalan dari teman-temannya. Orang tua pun dibayangi biaya mahal sekolah anak untuk satu tahun kemudian.
Guru, kepala sekolah, lembaga perguruan, juga dibayangi mimpi buruk manakala banyak siswanya yang tidak lulus. Ini berkaitan citra sekolah atau perguruan. Jika banyak siswanya tidak lulus dari sekolah tersebut, citra buruk melekat pada sekolah itu. Dicap sebagai sekolah yang mutunya rendah. Akhirnya, sekolah dijauhi siswa. Orang tua berpikir keras dan berulang kali untuk memasukkan anaknya pada sekolah tersebut. Lama-lama sekolah ini gulung tikar lantaran semakin kekurangan siswa.
Padahal, pendidikan atau pengajaran di sekolah seharusnya menghasilkan siswa-siswa rasional, percaya diri. Lantaran amburadulnya sistem dan pengelolaan pendidikan di Indonesia, ditambah lagi budaya instan karena tidak mau bersusah-susah belajar keras, lahirlah anak-anak yang tidak percaya atas kemampuannya sendiri. Tidak berani menghadapi kenyataan, tidak lulus.
Jika siswa-siswa yang notabene kelak akan menjadi generasi penerus kepemimpinan bangsa sudah berperilaku seperti itu, yakinlah daya saing yang semakin mengutamakan rasionalitas bangsa ini semakin mencemaskan pula.
Persaingan ke depan bakal semakin sengit, terutama jika komunitas bangsa-bangsa Asia Tenggara terbentuk. Aliran sumber daya manusia dari satu negara ke negara lain akan bebas. Pekerjaan yang tersedia di Indonesia misalnya, dapat dengan mudah direbut bangsa lain yang memiliki daya saing, kompetensi yang tinggi.
Jika anak-anak kita hanya berdaya saing rendah akibat sistem pendidikan yang cuma melahirkan generasi bermental kerupuk, lama-lama bangsa ini hanya akan menjadi buruh kelas murahan semua. Saat ini saja, pekerja-pekerja asing sudah semakin ramai berkeliaran di kota-kota besar Indonesia.
Padahal, kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, kelak membutuhkan sumber daya manusia andal untuk mengelolanya. Jika tidak, maka generasi Indonesia akan menjadi buruh di ladangnya sendiri. Bangsa asing dengan kekuatan modal, pengetahuan, dan teknologinya, akan menjadi tuan di negeri kita ini.
Penjajahan terjadi akibat kebodohan kita sendiri, tidak mampu menciptakan sistem pendidikan yang baik, dan mengelola pendidikan secara amburadul. Padahal, anggaran pendidikan sudah cukup mahal, 20 persen dari anggaran belanja negara.
Andi Suruji, CEO & Editor in Chief Inilah.com Group. Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di Majalah InilahREVIEW edisi ke-34 Tahun II, yang terbit Senin, 22 April 2013. [tjs]
Ada upaya atau langkah-langkah darurat yang diambil pelaksana atau peneyelenggara ujian nasional di daerah (hilir) untuk mengatasi keterlambatan distribusi soal. Tetapi semua itu tidak dapat mengatasi masalah. Persoalan ada pada hulu, di tingkat pusat, yang menentukan siapa mencetak, siapa mengedarkan atau mendistribusikan soal tersebut. Padahal, ujian nasional bukan kali ini saja dilaksanakan, sehingga masalah seperti ini tidak perlu terjadi. Seharusnya langkah antisipasi sudah dilakukan.
Ujian nasional, pada setiap tingkatan sekolah, sebagaimana anekdot konyol masyarakat, benar-benar sudah berubah menjadi “stres nasional”. Bukan hanya kali ini, tetapi setiap tahun stres nasional itu berulang, manakala ujian nasional sudah mendekat waktu pelaksanaannya.
Bukan hanya peserta didik, tetapi juga para orang tua siswa, sampai guru dan kepala sekolah, semuanya tertekan menghadapi ujian nasional ini. Dan itu terjadi merata di seluruh penjuru nusantara.
Penyebabnya, tidak lain adalah kecemasan siswa, orang tua, guru, sampai kepala sekolah. Bahkan ada sejumlah siswa yang sampai pergi ke kuburan berdoa bersama agar bisa lulus. Ini sesuatu yang tidak rasional lagi.
Kecemasan yang melanda mereka, tentu tidak lain adalah bayangan jika sekiranya siswa tidak lulus dari ujian tersebut. Siswa tentu kecewa berat jika mereka tidak lulus, sebab akan ketinggalan dari teman-temannya. Orang tua pun dibayangi biaya mahal sekolah anak untuk satu tahun kemudian.
Guru, kepala sekolah, lembaga perguruan, juga dibayangi mimpi buruk manakala banyak siswanya yang tidak lulus. Ini berkaitan citra sekolah atau perguruan. Jika banyak siswanya tidak lulus dari sekolah tersebut, citra buruk melekat pada sekolah itu. Dicap sebagai sekolah yang mutunya rendah. Akhirnya, sekolah dijauhi siswa. Orang tua berpikir keras dan berulang kali untuk memasukkan anaknya pada sekolah tersebut. Lama-lama sekolah ini gulung tikar lantaran semakin kekurangan siswa.
Padahal, pendidikan atau pengajaran di sekolah seharusnya menghasilkan siswa-siswa rasional, percaya diri. Lantaran amburadulnya sistem dan pengelolaan pendidikan di Indonesia, ditambah lagi budaya instan karena tidak mau bersusah-susah belajar keras, lahirlah anak-anak yang tidak percaya atas kemampuannya sendiri. Tidak berani menghadapi kenyataan, tidak lulus.
Jika siswa-siswa yang notabene kelak akan menjadi generasi penerus kepemimpinan bangsa sudah berperilaku seperti itu, yakinlah daya saing yang semakin mengutamakan rasionalitas bangsa ini semakin mencemaskan pula.
Persaingan ke depan bakal semakin sengit, terutama jika komunitas bangsa-bangsa Asia Tenggara terbentuk. Aliran sumber daya manusia dari satu negara ke negara lain akan bebas. Pekerjaan yang tersedia di Indonesia misalnya, dapat dengan mudah direbut bangsa lain yang memiliki daya saing, kompetensi yang tinggi.
Jika anak-anak kita hanya berdaya saing rendah akibat sistem pendidikan yang cuma melahirkan generasi bermental kerupuk, lama-lama bangsa ini hanya akan menjadi buruh kelas murahan semua. Saat ini saja, pekerja-pekerja asing sudah semakin ramai berkeliaran di kota-kota besar Indonesia.
Padahal, kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, kelak membutuhkan sumber daya manusia andal untuk mengelolanya. Jika tidak, maka generasi Indonesia akan menjadi buruh di ladangnya sendiri. Bangsa asing dengan kekuatan modal, pengetahuan, dan teknologinya, akan menjadi tuan di negeri kita ini.
Penjajahan terjadi akibat kebodohan kita sendiri, tidak mampu menciptakan sistem pendidikan yang baik, dan mengelola pendidikan secara amburadul. Padahal, anggaran pendidikan sudah cukup mahal, 20 persen dari anggaran belanja negara.
Andi Suruji, CEO & Editor in Chief Inilah.com Group. Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di Majalah InilahREVIEW edisi ke-34 Tahun II, yang terbit Senin, 22 April 2013. [tjs]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !