Novel ialah cerita dalam bentuk prosa
fiksi dalam ukuran yang luas. Keluasan tersebut ditunjukkan oleh
kekompleksan plot, keragaman karakter, kekompleksan tema, keragaman
suasana cerita, dan keragaman latar cerita (Najid, 2003: 15).
Ensiklopedia Americana memberi batasan bahwa novel ialah cerita dalam
bentuk prosa yang cukup panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari.
Novel memberi kemungkinan kepada pembaca untuk menangkap perkembangan
kejiwaan tokoh secara lebih menyeluruh. Novel juga memungkinkan adanya
penyajian secara panjang lebar mengenai persoalan manusia. Novel lebih
leluasa dalam mengeksploitasi detil-detil peristiwa, suasana, dan
karakter tokoh untuk menghidupkan cerita. Keutuhan sebuah novel tidak
ditopang oleh kepadatan cerita, namun ditopang oleh tema karyanya
(Najid, 2003: 18-19).
Novel terdiri atas tiga bentuk:
(1) novel percintaan, yaitu novel yang melibatkan peranan tokoh wanita
dan pria secara seimbang, terkadang wanita lebih dominan; (2) novel
petualangan, yaitu novel yang melibatkan banyak masalah dunia laki-laki;
(3) novel fantasi, novel yang bercerita tentang hal-hal yang tidak
realistis dan tidak logis serta serba tidak mungkin dilihat dari
pengalaman sehari-hari (Najid, 2003: 15).
Dalam dunia kesastraan sering
ada usaha untuk mencobabedakan antara novel serius dengan novel populer.
Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih
intens, tidak berusaha memahami hakikat kehidupan. Sebab jika demikian
halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel
serius. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga secara implisit
bertujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau
paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih
sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan (Nurgiyantoro,
2007: 18-19).
Unsur Intrinsik Novel
Unsur-unsur intrinsik ialah
unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra. Unsur
intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut
serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah
yang membuat sebuah novel berwujud (Nurgiyantoro, 2007: 23). Unsur-unsur
intrinsik tersebut adalah sebagai berikut.
Tema
Tema merupakan gagasan dasar
umum yang menopang sebuah karya sastra. Tema menjadi dasar pengembangan
seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
Tema mempunyai generalisasi umum, lebih luas, dan abstrak. Dengan
demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian tertentu cerita (Nurgiyantoro, 2007: 68). Dengan demikian,
tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah
karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan
sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.
Dengan kata lain, cerita tentunya akan “setia” mengikuti gagasan dasar
umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai
peristiwa-konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain
seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan
mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Nurgiyantoro, 2007:70).
Tema terbagi menjadi dua jenis:
1) Tema mayor: tema pokok, tema utama, yaitu permasalahan dominan yang menjiwai cerita.
2) Tema minor: tema bawahan, yaitu persoalan-persoalan kecil yang mendukung keberadaan tema mayor (Najid, 2003: 28).
Penokohan
Sebuah novel tanpa penokohan
adalah suatu hal yang mustahil. Daya tarik sebuah novel terpancar
melalui imajinasi kreatif pengarang. Melalui imajinasi itulah, pembaca
dapat berkenalan dengan sejumlah variasi tipe manusia beserta
masalahnya. Jika kita membaca sebuah novel, bagian paling penting yangg
harus dilakukan ialah usaha untuk mencari nilai yang disuguhkan
pengarang pada setiap tokoh (Rahmanto, 1992: 71).
Suatu peristiwa dalam prosa
fiksi selalu didukung oleh sejumlah tokoh atau pelaku-pelaku tertentu.
Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga mampu menjalin suatu cerita
disebut tokoh, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh disebut
penokohan. Oleh karena itu, penokohan merupakan unsur cerita yang tidak
dapat ditiadakan. Dengan adanya penokohan, sebuah cerita menjadi lebih
nyata dan lebih hidup. Melalui penokohan itu pula, seorang pembaca dapat
dengan jelas menangkap wujud manusia atau makhluk lain yang
perikehidupannya sedang diceritakan pengarangnya (Najid, 2003: 23).
Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah
cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca
(Nurgiyantoro, 2007: 166).
Tokoh dalam prosa fiksi
memiliki peran yang berbeda-beda. Tokoh yang memiliki peran penting
dalam suatu cerita disebut tokoh sentral/ tokoh inti atau tokoh utama,
sedangkan tokoh yang hanya berfungsi melengkapi, melayani tokoh utama
disebut sebagai tokoh peripheral (tokoh pembantu). Penentuan kedua tokoh tersebut didasarkan pada:
1) Frekuensi kemunculan tokoh dalam cerita. Tokoh utama umumnya sering atau bahkan selalu muncul dalam setiap episode, sedangkan tokoh bawahan kecil sekali tingkat kemunculannya dalam cerita.
2) Komentar pengarang. Tokoh utama
umumnya adalah tokoh yang sering dikomentari dan dibicarakan oleh
pengarang cerita, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan sekadarnya
saja.
3) Judul cerita. Tokoh utama biasanya dijadikan sebagai judul sebuah cerita (Najid, 2003:23).
Tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh
utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam
tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Pada novel-novel yang lain,
tokoh utama tidak muncul dalam setiap kejadian, atau tak langsung
ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab
tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama.
Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita
lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.
Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau
kadar keutamaannya tak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh
dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan
plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2007: 176-177).
Berdasar atas karakternya, aspek tokoh dapat dibedakan menjadi:
1) Tokoh sederhana: tokoh yang kurang
mewakili personalitas manusia dan biasanya hanya ditonjolkan dari satu
dimensi saja. Tokoh ini cenderung tidak dikembangkan atau tidak memiliki
kemungkinan untuk berkembang menjadi tokoh kompleks yang termasuk tokoh
sederhana adalah tokoh yang sudah biasa, familiar, atau tokoh
stereotip.
2) Tokoh kompleks: tokoh yang dapat
dilihat dari semua sisi kehidupannya. Tokoh seperti ini memiliki
kemungkinan berkembang karena memiliki kepribadian yang kompleks. Ia
lebih menyerupai pribadi yang hidup sehingga memberikan kejutan pada
pembacanya (Najid, 2003: 23).
Penggolongan tokoh berdasarkan keterkaitan dengan konflik:
1) Tokoh protagonis: tokoh yang membawa ide prinsipil atau ide pokok.
2) Tokoh antagonis: tokoh yang selalu menentang ide prinsipil
3) Tokoh tritagonis: tokoh yang berfungsi sebagai pendamai antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis (Najid, 2003: 24).
Adapun cara pengarang menampilkan watak tokoh cerita adalah sebagai berikut:
1) Disampaikan sendiri oleh pengarang kepada pembaca.
2) Disampaikan oleh pengarang melalui perkataan tokoh-tokoh cerita itu sendiri.
3) Disampaikan melalui apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang tokoh tertentu.
4) Disampaikan melalui pemikiran, perasaan, pekerjaan, dan perbuatan tokoh cerita (Rahmanto, 1992: 72).
Latar
Latar dalam prosa fiksi
terbagi menjadi tiga jenis, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar
sosial. Latar waktu berkait dengan penempatan waktu cerita. Latar tempat
berkait erat dengan masalah geografis, merujuk suatu tempat tertentu
terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar sosial berkait dengan kehidupan
kemasyarakatan dalam cerita. Latar cerita bukan sekedar sebagai
penunjuk kapan dan dimana sebuah cerita terjadi, namun ia juga sebagai
tempat pengambilan nilai-nilai yang diungkapkan pengarang melalui
ceritanya. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa latar sebenarnya
memiliki dua tipe, yaitu fisikal dan psikologis. Latar fisikal umumnya
berupa benda-benda konkret seperti: meja, kursi, dan lain-lain. Apabila
latar fisikal tersebut mampu menggerakkan emosi pembaca, maka latar
tersebut juga berfungsi sebagai latar psikologis.
Perbedaan latar fisikal dan latar psikologis tampak pada empat ciri yang terpaparkan di bawah ini.
1) Latar fisikal berkait dengan
tempat, benda, dan peristiwa yang tidak menuansakan makna apa-apa,
sedangkan latar psikologis ialah latar yang berupa benda, tempat, dan
peristiwa yang mampu memengaruhi emosi pembaca.
2) Latar fisikal terbatas pada sesuatu
yang bersifat fisik dan dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan
latar psikologis dapat berupa suasana, sikap, serta jalan pikiran
manusia atau tokoh cerita.
3) Untuk memahami latar fisikal,
pembaca cukup melihat apa yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap
latar psikologis membutuhkan penghayatan dan penafsiran.
4) Latar fisikal dan psikologis saling berpengaruh (Najid, 2003: 25).
Sudut Pandang
Dalam menampilkan ceritanya,
pengarang dapat berposisi berbeda-beda. Cara memandang tokoh-tokoh
cerita dengan menempatkan dirinya (pengarang) pada posisi tertentu
disebut sudut pandang atau titik pandang atau pusat pengisahan (Najid,
2003: 27). Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya (Nurgiyantoro, 2007: 248). Jenis-jenis sudut pandang adalah
sebagai berikut.
1) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang
mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah
seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita
dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama
tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut,
dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah
pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang
bertindak (Nurgiyantoro, 2007: 256).
Sudut pandang “dia” dapat
dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan
keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya, yaitu sudut pandang
“dia” mahatahu dan sudut pandang “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut
pandang “dia” mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun
pengarang dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh
“dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu. Ia
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk
motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan
apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari
tokoh “dia” yang satu ke tokoh “dia” yang lain. Dalam teknik mahatahu,
narator mampu menceritakan sesuatu, baik yang bersifat fisik, dapat
diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran
tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh, seolah-olah tidak ada satu
rahasiapun tentang tokoh yang tidak diketahui oleh narator. Hal tersebut
menjadikan pembaca lebih terlibat secara emosional terhadap cerita.
Bahkan, rasanya pembaca ingin membisikkan sesuatu kepada tokoh tentang
hal-hal “penting” yang tidak diketahuinya. Misalnya, pembaca ingin
memberi tahu seorang tokoh bahwa kawan seperjuangannya itu sebenarnya
seorang pengkhianat bangsa yang sangat membahayakan (Nurgiyantoro, 2007:
257-259).
Dalam sudut pandang
“dia” sebagai pengamat/ terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu,
pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan
dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh
saja. Tokoh cerita mungkin saja banyak yang juga berupa tokoh “dia”,
namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya
seperti halnya tokoh pertama/ utama. Hal itu disebabkan karena dalam
teknik ini hanya ada seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap
(Nurgiyantoro, 2007: 259-260).
2) Sudut pandang persona pertama: “Aku”
Sudut pandang persona pertama
dapat dibedakan ke dalam dua golongan yaitu sudut pandang “aku” sebagai
tokoh utama dan sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan. Dalam sudut
pandang “aku” sebagai tokoh utama, si “aku” menjadi fokus, pusat
kesadaran, dan pusat cerita, atau dapat dikatakan menceritakan kehidupan
tokoh “aku”. Dalam sudut pandang “aku” sebagai tokoh tambahan, tokoh
“aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita
yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri
berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri
itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak
tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan
tokoh-tokoh lain (Nurgiyantoro, 2007: 263-265).
Gaya Bahasa
Bahasa dalam prosa fiksi
memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai
gagasan pengarang, namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa
cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa prosa fiksi
(novel) ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati,
melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah
sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat
khas (Najid, 2003: 27). Dalam karya sastra, istilah gaya mengandung
pengertian cara seorang pengarang dalam menyampikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca (Aminuddin, 2009: 72).
Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus,
yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian
menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada
lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian
untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan
dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah
(Keraf, 2006: 112). Jenis-jenis gaya bahasa meliputi:
Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
- Repetisi, yaitu perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Contoh:
Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama meraka yang menyusupi tanah, menyusupi alam? (Keraf, 2006:127).
Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna
Gaya Bahasa Retoris
- Elipsis, yaitu suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Contoh:
Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa,
badanmu sehat; tetapi psikis.... (Keraf, 2006: 132).
- Eufimisme, yaitu semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2006: 132).
Contoh:
Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka.
Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini.
Anak Saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran.
- Litotes, yaitu semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya, atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya (Keraf, 2006: 132-133).
Contoh:
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami bertahun-
tahun lamanya.
- Pleonasme dan Tautologi, yaitu acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain.
Contoh:
Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.
Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.
Ungkapan tersebut adalah pleonasme
karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun
dihilangkan kata-kata: dengan telinga saya dan yang merah itu.
Contoh:
Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat.
Globe itu bundar bentuknya.
Acuan di atas disebut tautologi karena
kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah
disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00 dan
bundar sudah tercakup dalam globe (Keraf, 2006: 133-134).
- Hiperbol, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Contoh:
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir meledak aku
(Keraf, 2006: 135).
- Paradoks, yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh:
Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah
(Keraf, 2006: 136).
Gaya Bahasa Kiasan
a) Persamaan atau Simile, yaitu
perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan
yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara
eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama,
sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
Contoh:
Bibirnya seperti delima merekah.
Persamaan masih dapat dibedakan lagi
atas persamaan tertutup dan persamaan terbuka. Persamaan tertutup adalah
persamaan yang mengandung perincian mengenai sifat persamaan itu,
sedangkan persamaan terbuka adalah persamaan yang tidak mengandung
perincian mengenai sifat persamaan itu (Keraf, 2006: 138).
Contoh:
Tertutup: Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa tegang seperti
mengikuti pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan
kedudukan 14-14.
Terbuka: Saat menantikan pengumuman hasil ujian terasa seperti mengikuti
pertandingan bulu tangkis dalam set terakhir dengan kedudukan 14-14.
b) Metafora, yaitu semacam analogi
yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang
singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan
sebagainya (Keraf, 2006: 139).
Contoh:
Pemuda-pemudi adalah bunga bangsa.
c) Personifikasi, yaitu semacam
gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan (Keraf, 2006: 140).
Contoh: .
Matahari kembali ke peraduannya, ketika kami tiba di sana.
d) Sinekdoke, yaitu semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte).
Contoh:
Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,- (pars pro toto)
Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di
Stadion Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4 (totem proparte)
(Keraf, 2006: 142).
Alur
Sebuah cerpen atau novel
menyajikan sebuah cerita kepada pembacanya. Sebuah cerita adalah
peristiwa yang jalin-menjalin berdasar atas urutan waktu, kejadian, atau
hubungan sebab-akibat. Jalin-menjalinnya berbagai peristiwa, baik
secara linier atau lurus maupun secara kausalitas, yang membentuk satu
kesatuan yang utuh, padu, dan bulat dalam suatu prosa fiksi disebut alur
cerita (Najid, 2003: 20).
Susunan alur dalam sebuah prosa fiksi secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian:
1) Bagian awal: berisi informasi
penting yang berkaitan dengan hal-hal yang diceritakan pada tahap-tahap
berikutnya.Informasi-informasi tersebut dapat berupa pengenalan latar,
pengenalan tokoh, dan penciptaan suasana.
2) Bagian tengah: menyajikan
konflik yang sudah mulai dimunculkan. Konflik bisa terjadi secara
internal (konflik batin) maupun eksternal (konflik sosial).
3) Bagian akhir: merupakan tahap
peleraian. Berbagai jawaban atas berbagai persoalan yang dimunculkan
dalam cerita terlihat alternatif penyelesaiannya (Najid, 2003: 20).
Pembedaan plot (alur)
berdasarkan kriteria urutan waktu ada dua kategori, yaitu alur
kronologis dan tak kronologis. Alur kronologis disebut sebagai alur maju
atau progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika cerita
dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik),
tahap tengah (konflik meningkat, klimaks), dan tahap akhir
(penyelesaian). Plot progresif biasanya menunjukkan kesederhanaan cara
penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti. Alur tak
kronologis disebut sebagai alur sorot balik (flash-back) atau
regresif. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot
regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap
awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian
tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 2007: 153-154). Selain alur
sorot balik, ada juga alur campuran. Alur campuran adalah alur yang
diawali klimaks, kemudian melihat lagi masa lampau dan dilanjutkan
sampai pada penyelesaian. Oleh karena itu, cerita yang menggunakan alur
ini ada bagian yang menceritakan masa lalu dan masa mendatang
(http://hoesnaeni.wordpress.com).
Amanat
Dalam berkarya, pengarang
pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai dengan karyanya,
tujuan inilah yang disebut amanat. Umumnya, amanat cerita berisi
ajaran-ajaran moral, yaitu ajakan, saran, atau anjuran kepada pembaca
untuk meningkatkan kesadaran kemanusiaannya (Najid, 2003: 28).
Sebuah karya fiksi ditulis
oleh pengarang untuk, antara lain, menawarkan model kehidupan yang
diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah
laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui
cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang
diamanatkan. Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh
pembaca lewat sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Dengan
demikian, tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh
antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang
menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian.
Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang
baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal
tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil
hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh jahat itu. Eksistensi sesuatu
yang baik, biasanya justru akan lebih mencolok jika dikonfrontasikan
dengan yang sebaliknya (Nurgiyantoro, 2007: 321-322).
DAFTAR RUJUKAN
Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Najid, Mohammad. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University
Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahmanto, B. 1992. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hoesnaeni. 2008. Menentukan Alur Cerpen yang Dibaca. (Online), (http://hoesnaeni.wordpress.com, diakses pada 3 Maret 2011).
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !