Ilustrasi: Pelajar SMA yang sedang menjalani masa tahanan
(mengenakan kaus) mengerjakan soal Ujian Nasional di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas 2B Cebongan, Desa Sumberadi, Mlati, Sleman, DI
Yogyakarta, Senin (15/4/2013).
"Biarkan sekolah dan guru yang membuat soal dan menguji siswa. Pemerintah cukup membuat standar dan kisi-kisi soal UN untuk menjamin kualitas UN di seluruh Indonesia sama," kata Nanat Fatah Natsir di Jakarta, Senin (22/4/2013).
Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu mengatakan, pemerintah juga harus meningkatkan kualitas guru. Sebuah penelitian menyatakan, 62 persen kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas guru, baru kemudian kurikulum dan sarana prasarana.
Karena itu, kata Nanat, pemerintah perlu memberi kepercayaan kepada guru dan kepala sekolah, untuk menentukan kelulusan siswa berdasarkan pedoman yang sudah disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Sistem UN saat ini menunjukkan seolah-olah pemerintah tidak percaya dengan kepala sekolah dan guru. Mengapa tidak bisa seperti di perguruan tinggi, ketika kelulusan mahasiswa ditentukan dosen penguji dan ditetapkan rektor," tuturnya.
Menurut Nanat, kondisi pelaksanaan UN yang berantakan beberapa waktu lalu menunjukkan sistem yang diberlakukan saat ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Orangtua dan siswa justru menjadi korban sistem yang berantakan tersebut.
"Sistem UN saat ini juga mendorong ketidakjujuran, baik yang dilakukan siswa maupun guru. Demi mengejar kelulusan 100 persen, sekolah dan siswa melakukan segala cara dalam menempuh UN," ujarnya.
Pelaksanaan UN tingkat SMA di 11 provinsi tertunda, karena lambatnya pengiriman soal ke daerah tersebut. Beberapa pihak menduga keterlambatan dan permasalahan yang baru pertama kali terjadi itu, disebabkan kebijakan Kemdikbud yang membuat 20 tipe soal.
Mendikbud Mohammad Nuh kemudian memutuskan UN susulan di 11 provinsi tersebut, pengadaan naskah soalnya dengan cara memfoto kopi.
Sumber: Antara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !